Saya mempunyai sebuah gitar di
rumah. Setiap hari biasanya saya memainkannya. Dan jujur, itu terdengar biasa
saja.
Suatu ketika teman saya
berkunjung ke rumah dan memainkan gitar tersebut, sungguh terdengar luar biasa.
Dengan gitar yang sama (dengan yang saya gunakan) ia memainkan jenis-jenis
musik yang berbeda yang membuat saya tak berhenti berdecak kagum menikmatinya.
Suatu ironi yang sungguh mengusik
sekaligus menggelikan. Saya yang memiliki gitar tersebut dan jika saya yang
memainkannya terdengar biasa, tetapi jika di tangan orang lain, terdengar luar
biasa.Ternyata memiliki tidak menjamin kita mampu menghasilkan sesuatu yang
luar biasa darinya.
Kenyataan ini mengingatkan saya
bahwa seseorang maestro dikenal karena masterpiece-nya seperti Leonardo da
Vinci dengan Mona Lisa-nya, Ludwig van Beethoven dengan karya-karyanya, dll.
Saya memang tidak bercita-cita menjadi maestro di bidang seni. Tetapi hal ini
mengingatkan saya kembali kepada BPS tempat di mana saya bekerja.
Di BPS terdapat banyak sekali
data-data yang berkualitas sesuai dengan visinya yaitu "pelopor data
statistik terpercaya untuk semua". Datanya pun sangat beragam mulai dari
sosial ekonomi, pertanian, perdagangan, dll semuanya tersedia di BPS. Seperti
halnya para maestro tadi, BPS juga seperti maestro buat saya dengan
masterpiece-nya data-data berkualitas.
Cukupkah sampai di situ?
Kemudian saya teringat kembali
dengan kejadian beberapa waktu lalu. Ketika Malaysia mengklaim kesenian Reog
Ponorogo, lagu Rasa Sayange, tari Pendet, kerajinan Batik, alat musik Angklung,
tari Tortor, dan alat musik Gondang Sambilan. Memang hal tersebut sangat
mengesalkan tetapi saya tidak ingin kita membahas klaim tersebut di sini,
tetapi saya mengajak kita membahas bagaimana Indonesia (maestro) kurang
"menjual" kesenian-keseniannya (masterpiece). Sehingga Malaysia
memanfaatkan ini dengan "menjual" kesenian-kesenian Indonesia untuk
"menjual" negaranya. Yang tentunya menguntungkan negaranya. Padahal
itu dapat digunakan untuk membangun Indonesia.
Baik kita kembali ke BPS,
sudahkah kita berhasil "menjual" data-data (masterpiece)? Menjual di
sini bukan saya maksudkan dengan menjual secara harafiah tetapi mengemas data
tersebut dengan baik, lebih menarik, dan membuatnya lebih "berbunyi"
dan bermanfaat bagi pemerintah setempat, stakeholder, dll yang membutuhkan
untuk pengembangan daerah kita masing-masing. Menjual di sini, salah satunya
dapat kita lakukan dengan membuat analisis singkat yang cukup menarik dan
mendistribusikan atau mempromosikan ke dinas/instansi bahkan sampai ke
bupati/walikota seperti sosok Si Ubah dalam tulisan Ateng Hartono dalam Si
Stagnan dan Si Ubah.
Saya yakin pasti sebagian BPS
sudah ada yang berhasil, sebagian lagi sedang, dan sebagian lainnya mungkin
belum. Untuk itu marilah kita bersama-sama tingkatkan "menjual"
masterpiece kita yang secara tidak langsung ikut "menjual" BPS.
Untuk melakukan hal tersebut
tentulah tidak mudah. Namun Thomas Alva Edison pernah berkata "Genius is
one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration". Yang bisa
kita artikan bahwa kejeniusan dalam melakukan "penjualan" memerlukan
1 persen inspirasi dan 99 persen kerja keras.
Sehingga harapan kita ke depannya
ketika orang bertanya ke mana saya harus pergi mendapat data yang berkualitas
dan analisis yang baik, jawabannya hanya satu yaitu BPS.
No comments:
Post a Comment