Monday, November 12, 2012

Maestro dan Masterpiece-nya


Saya mempunyai sebuah gitar di rumah. Setiap hari biasanya saya memainkannya. Dan jujur, itu terdengar biasa saja.

Suatu ketika teman saya berkunjung ke rumah dan memainkan gitar tersebut, sungguh terdengar luar biasa. Dengan gitar yang sama (dengan yang saya gunakan) ia memainkan jenis-jenis musik yang berbeda yang membuat saya tak berhenti berdecak kagum menikmatinya.



Suatu ironi yang sungguh mengusik sekaligus menggelikan. Saya yang memiliki gitar tersebut dan jika saya yang memainkannya terdengar biasa, tetapi jika di tangan orang lain, terdengar luar biasa.Ternyata memiliki tidak menjamin kita mampu menghasilkan sesuatu yang luar biasa darinya.

Kenyataan ini mengingatkan saya bahwa seseorang maestro dikenal karena masterpiece-nya seperti Leonardo da Vinci dengan Mona Lisa-nya, Ludwig van Beethoven dengan karya-karyanya, dll. Saya memang tidak bercita-cita menjadi maestro di bidang seni. Tetapi hal ini mengingatkan saya kembali kepada BPS tempat di mana saya bekerja.

Di BPS terdapat banyak sekali data-data yang berkualitas sesuai dengan visinya yaitu "pelopor data statistik terpercaya untuk semua". Datanya pun sangat beragam mulai dari sosial ekonomi, pertanian, perdagangan, dll semuanya tersedia di BPS. Seperti halnya para maestro tadi, BPS juga seperti maestro buat saya dengan masterpiece-nya data-data berkualitas.

Cukupkah sampai di situ?

Kemudian saya teringat kembali dengan kejadian beberapa waktu lalu. Ketika Malaysia mengklaim kesenian Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, tari Pendet, kerajinan Batik, alat musik Angklung, tari Tortor, dan alat musik Gondang Sambilan. Memang hal tersebut sangat mengesalkan tetapi saya tidak ingin kita membahas klaim tersebut di sini, tetapi saya mengajak kita membahas bagaimana Indonesia (maestro) kurang "menjual" kesenian-keseniannya (masterpiece). Sehingga Malaysia memanfaatkan ini dengan "menjual" kesenian-kesenian Indonesia untuk "menjual" negaranya. Yang tentunya menguntungkan negaranya. Padahal itu dapat digunakan untuk membangun Indonesia.

Baik kita kembali ke BPS, sudahkah kita berhasil "menjual" data-data (masterpiece)? Menjual di sini bukan saya maksudkan dengan menjual secara harafiah tetapi mengemas data tersebut dengan baik, lebih menarik, dan membuatnya lebih "berbunyi" dan bermanfaat bagi pemerintah setempat, stakeholder, dll yang membutuhkan untuk pengembangan daerah kita masing-masing. Menjual di sini, salah satunya dapat kita lakukan dengan membuat analisis singkat yang cukup menarik dan mendistribusikan atau mempromosikan ke dinas/instansi bahkan sampai ke bupati/walikota seperti sosok Si Ubah dalam tulisan Ateng Hartono dalam Si Stagnan dan Si Ubah.

Saya yakin pasti sebagian BPS sudah ada yang berhasil, sebagian lagi sedang, dan sebagian lainnya mungkin belum. Untuk itu marilah kita bersama-sama tingkatkan "menjual" masterpiece kita yang secara tidak langsung ikut "menjual" BPS.

Untuk melakukan hal tersebut tentulah tidak mudah. Namun Thomas Alva Edison pernah berkata "Genius is one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration". Yang bisa kita artikan bahwa kejeniusan dalam melakukan "penjualan" memerlukan 1 persen inspirasi dan 99 persen kerja keras.

Sehingga harapan kita ke depannya ketika orang bertanya ke mana saya harus pergi mendapat data yang berkualitas dan analisis yang baik, jawabannya hanya satu yaitu BPS.

Untuk itu teruslah berkarya dan majulah BPS. BRAVO BPS

No comments:

Post a Comment