- Hari Senin s.d Kamis Jam 07.30 – 16.00 (waktu istirahat jam 12.00 – 13.00)
- Hari Jumat Jam 07.30 – 16.30 (waktu istirahat jam 11.30 – 13.00)
Demikianlah sepenggal
kalimat dari surat Sekretaris Utama BPS RI.
Yuph, surat yang kembali menegaskan komitmen BPS pada Reformasi Birokrasi.
Tentunya akan beragam reaksi yang muncul terkait hal ini. Bukan untuk menggurui
dengan membahas reaksi kita tetapi saya ingin mengemukakan opini saya terhadap
hal ini. J
Pertama, sesuai dengan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2012 tentang Tunjangan
Kinerja pegawai di lingkungan Badan Pusat Statistik, pegawai BPS (akhirnya) diberikan
tunjangan kinerja yang dibayarkan terhitung mulai Januari 2012. Jika kita mau
jujur memang sudah sepatutnya dengan pemberian tunjangan kinerja ini, kita juga
harus meningkatkan kinerja kita. Salah satunya dengan disiplin kehadiran (tanpa
toleransi waktu atas keterlambatan kehadiran). Jika selama ini masih ada
toleransi sampai dengan 30 menit, maka mulai sekarang tidak ada lagi.
Peraturan yang ketatkah?
Ini kembali lagi ke pribadi kita masing-masing.
Seperti perumpaan dari
Rusia “palu memecahkan kaca, membentuk baja”. Jika memiliki mental kaca, kita
merasa peraturan ini akan sangat memberatkan. Sehingga kita tidak nyaman dengan
kondisi kerja kita. Hal ini tentu akan mempengaruhi kinerja kita. Akhirnya
dengan terpaksa kita harus mengikuti peraturan ini. Lain halnya jika kita
memiliki mental baja, menghadapi peraturan ini kita akan merasa nyaman dan
tertantang untuk membuktikan kalau kita memang layak mendapatkan tunjangan
kinerja ini (bahkan mungkin lebih lagi). Kita juga tentunya akan mulai berubah
lebih (lagi) produktif, efektif, dan efisien dalam bekerja. Tentunya dengan
menikmati perubahan yang terjadi kita akan bekerja dengan hati.
Kedua, ketika presensi sudah
tidak ada toleransi waktu atas keterlambatannya, bagaimanakah kita
menyikapinya? Lalu bagaimana dengan KSK yang memiliki wilayah tugas di
kecamatan? Apakah juga harus berkantor di kabupaten/kota? Lalu bagaimanakah
dengan pekerjaan lapangannya? Apalagi dengan yang wilayah tugas jauh dari
kantor kabupaten/kota? Lalu bagaimana prosedurnya?
Sepertinya semakin
runyam.
Thomas Robert Malthus
dulu pernah berkata suatu saat nanti akan terjadi kelaparan yang besar bahkan
mati kelaparan karena ledakan penduduk. Ia beralasan pertumbuhan penduduk
mengikuti deret geometri dan pertumbuhan makanan mengikuti deret aritmatika.
Sehingga menurutnya akan terjadi saat di mana jumlah orang akan jauh lebih
banyak daripada jumlah ketersediaan makanan. Namun, seperti yang kita lihat
saat ini ternyata jumlah ketersediaan makanan dapat mencukupi kebutuhan. Hal
ini tentunya dapat teratasi dengan teknologi dan terobosan-terobosan baru yang
dilakukan.
Demikian juga dengan di
BPS, pertanyaan yang muncul itu tentu menjadi tantangan bagi insan BPS. Belum
lagi kantor BPS tersebar di seluruh Indonesia sampai dengan tingkat
kabupaten/kota yang sangat beragam karakteristiknya, bahkan KSK sampai tingkat
kecamatan. Jika kita pesimis menyambut hal ini akan berat kita jalani.
Sedangkan jika kita optimis, akan memacu kita untuk menciptakan
terobosan-terobosan untuk menyukseskan reformasi birokrasi ini. Selalu ada
harga yang harus dibayar untuk berubah menjadi lebih baik dan selalu ada jalan
keluar untuk setiap masalah.
Perubahan yang terjadi
tidaklah mudah kita lakukan. Bekerja dengan tidak PIA sama halnya dengan terjangkit
zombie, mudah menular tapi sulit
untuk disembuhkan. Namun tenang, insan BPS mempunyai serum untuk
menyembuhkannya yaitu dengan 7 perilaku utama insan BPS.
7
Perilaku utama insan BPS itu adalah:
1.
Efektif, efisien, dan sistemik
2.
Kompeten, inovatif, dan excellent
3.
Responsif
4.
Akuntabel
5.
Dedikatif, disiplin, dan konsisten
6.
Saling menghargai
7.
Jujur, tulus, dan adil
Uhmm.. Jadi apa pendapatmu mengenai 7 perilaku utama insan BPS?
Kalau 07.30?
Majulah BPS. BRAVO BPS.
Salam PIA
Balige, 06 Desember 2012
No comments:
Post a Comment