“Tidak ikut reformasi, minggirlah.”
Pernyataan Rusman Heriawan ini perlu kita renungkan kembali dalam mengimplementasikan
nilai-nilai inti Badan Pusat Statistik (BPS); Profesional, Integritas, dan
Amanah (PIA) dalam pekerjaan sehari-hari. Pernyataan yang ditujukan untuk semua
insan BPS dalam sebuah Workshop Wartawan di Bandung tahun 2010 ini “menampar
keras” insan BPS untuk “menghidupi” Reformasi Birokrasi di lingkungan BPS kala
itu.
Dua tahun berlalu, secara perlahan
tapi pasti BPS mulai bermetamorfosis. Mengimplementasikan nilai-nilai inti BPS
(baca: PIA) – yang merupakan pondasi yang kokoh untuk membangun jati diri dan
penuntun perilaku setiap insan BPS dalam melaksanakan tugas (Badan Pusat Statistik,
2010) – diharapkan akan menciptakan insan BPS yang “wow” serta menciptakan budaya
kerja BPS. Budaya inilah yang sejatinya menjadi jati diri BPS yang akan
membedakan BPS dengan institusi lainnya sekaligus mengubah paradigma masyarakat
mengenai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sulit memang tetapi tidak berarti
mustahil.
Metamorfosis BPS
Proses metamorfosis BPS terlihat jelas
dengan peningkatan sarana dan prasarana BPS seperti pembangunan dan rehab
gedung kantor (sesuai prototype),
satu komputer jinjing untuk satu Koordinator Statistik Kecamatan (KSK),
kendaraan dinas baru, mesin handkey sampai
tingkat BPS Kabupaten. Prototype
kantor BPS berdiri megah seakan tersenyum hangat menyambut setiap pengunjung
yang datang. Kelengkapan fasilitas (ruang perpustakaan dan layanan) dan
penggunaan teknologi informasi, selalu siap memberikan pelayanan terbaik.
Sungguh hal yang amat membanggakan. Perubahan ini tidak sampai di situ saja, bahkan
BPS sampai mengubah struktur organisasinya.
Di sisi lain, BPS juga sedang
mengalami perubahan budaya kerja. Implementasi PIA dalam pekerjaan sehari-hari
akan mengganggu insan BPS yang telah kadung nyaman dalam comfort zone-nya. Dengan ini BPS diharapkan dapat tetap eksis
mengikuti perubahan jaman (baca: reformasi birokrasi). Seperti halnya,
Dinosaurus punah bukan karena lemah tetapi karena tidak dapat menyesuaikan diri
dengan keadaan. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, kita (baca: insan BPS) harus
berubah.
Perubahan-perubahan itu nyata
seperti disiplin waktu kerja (disiplin masuk dan pulang kantor) – dengan mesin handkey sampai tingkat kabupaten. Peningkatan
kapasitas insan BPS dengan pelatihan dan pendidikan – baik tugas belajar maupun
ijin belajar. Pelaksanaan Video
Conference (Vicon) memperlancar
komunikasi BPS dengan efisien menembus ruang dan waktu.
Lain lagi dengan kegiatan BPS yang
semakin padat dan bertumpuk. Standard Operating
Prosedur (SOP) kegiatan yang diterapkan kadang tidak “ideal” di lapangan –
menjadi tantangan tersendiri bagi insan BPS. Belum lagi sampai saat ini, (masih
ada) BPS di daerah yang sedang menghadapi ketidakpuasan masyarakat yang tidak
menjadi penerima Raskin. Sebuah konsekuensi tugas yang tidak dapat dielakkan.
Dalam menghadapi hal-hal tersebut
dibutuhkan moral dan orientasi bekerja yang tangguh. Itulah perlunya kita menghidupi
PIA. Dengan banyaknya tantangan dan tekanan inilah jati diri kita semakin
teruji. Memang tak dapat kita pungkiri kalau dalam perjalanannya mulai terlihat
fenomena degradasi moral dan disorientasi.
Fenomena
Degradasi Moral dan Disorientasi
Salah satu gejalanya seperti
dengan disiplin yang hanya “disiplin absen” bukan “disiplin yang berkualitas”.
Jam kerja yang dimulai 07.30 WIB s/d 16.00 WIB untuk hari Senin s/d Kamis dan
07.30 WIB s/d 16.30 WIB untuk hari Jumat, dengan batas toleransi keterlambatan
30 menit – memaksa insan BPS untuk datang dan pulang tepat waktu karena akan
ada pengurangan Upah Kinerja (UK). Hal ini terbukti ampuh – disiplin masuk dan
pulang para pegawai pun mulai nyata terlihat. Namun setelah disiplin absen
apakah setiap kita bekerja secara efektif dan efisien? Atau setelah nge-handkey kita (baru) sarapan, atau
mengobrol, atau mengerjakan sesuatu yang bukan pekerjaan kantor di jam kantor –
sehingga beberapa waktu kerja kita menjadi tidak efektif dan efisien.
Sesuai dengan butir-butir pada
Profesional dari PIA; efektif dan efisien, kita harus memberikan hasil maksimal
dan mengerjakan tugas secara produktif, dengan sumber daya minimal termasuk
waktu. BPS sebaiknya mengadakan workshop/lokakarya
khusus mengenai PIA sampai ke tingkat BPS Kabupaten/Kota – tidak ditumpangkan
dalam pertemuan-pertemuan BPS – berikut dengan contoh-contoh langkah konkret
dalam pekerjaan sehari-hari. Sehingga setiap insan BPS dapat memahami PIA
secara benar dan tidak menjadi slogan semata. Selain itu perlu diadakan
evaluasi yang berkesinambungan mengenai implementasi PIA sampai di BPS
Kabupaten/Kota, bahkan dapat dijadikan sebagai salah satu lomba budaya di Hari
Statistik Nasional. Tentunya dibutuhkan kriteria yang jelas dan terukur dalam
menilainya.
Begitu juga dengan insan BPS yang
bekerja hanya business as usual.
Ketika kita bekerja seperti itu, maka pekerjaan kita hanya akan sekedarnya dan
berpotensi membuat kita jenuh dan bosan. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya
kualitas data yang kita hasilkan. Kita perlu melakukan inovasi dalam pekerjaan
sehari-hari – sesuai dengan butir inovatif pada Profesional. Untuk itu BPS
perlu mendorong seluruh insan BPS untuk inovatif, salah satunya dengan
pelaksanaan sistem reward and punishment
yang tulus dan adil – sesuai butir-butir pada Amanah. Kepastian jenjang karier
yang jelas juga dapat menjadi pendorong bagi kita untuk terus berinovasi.
Sebetulnya masih banyak lagi
hal-hal lain (baca: fenomena degradasi moral dan disorientasi) selain hal di
atas yang perlu kita perbaiki bersama-sama. Marilah kita semua menghidupi PIA
dalam setiap pekerjaan kita sehari-hari, sehingga kita tidak terpinggirkan.
Ya, besar doa dan harapan kita, metamorfosis
(baca: perubahan) ini berjalan sempurna dan BPS menjadi “kupu-kupu yang indah” –
pelopor data statistik terpercaya untuk semua. Menghidupi PIA, Masalah buat lo?
No comments:
Post a Comment